Seperti emas mereka
menjual barang itu. Barang yang memang sulit dicari di jaman sekarang ini, dan
mereka menjualnya mahal sekali!
Barang itu tidak
tumbuh dari alam, dibuat manusia pun tidak, mereka muncul dari bekasbekas
cahaya yang sudah redup dan sebentar lagi akan padam. Kami manusia menamai
barang itu sebagai “sisa harapan”. Iya, sisa harapan kami yang sangat jarang
bisa kami temui dijaman sekarang, dan jika ada yang memiliki sisa harapan itu
kami akan berlomba untuk membelinya. Berapapun itu!
Di jaman dimana aku
hidup sekarang, jarang sekali dari kami yang memiliki harapan. Sebagian besar
dari kami hanya menghabiskan waktu duduk merenung. Tapi, dalam renungan kami
itu sedikitpun kami tak berani memikirkan harapan, karena harapan itu begitu
pedih buat kami.
Kami adalah pembeli
yang ulung sekaligus handal, uang kami takkan pernah habis jika hanya untuk memenuhi
kebutuhan kami. Kami tak perlu bekerja, kami cukup duduk dan merenung. Iya,
cukuplah begitu. Kami membeli apapun yang kami butuhkan, inginkan, dan yang
kami mau. Begitu mudah bagi kami melakukan semua hal itu karena uang kami tidak
akan pernah habis, sampai kapanpun.
Suatu ketika ada
perubahan didalam negeri kami. Diberitahukan bahwa mulai sekarang setiap orang
yang hidup disitu harus memiliki harapan. Harapan adalah sebuah kebutuhan
mutlak sekarang. Dan jika masih diketahui dari kami masih belum memiliki
harapan, siapapun itu, akan dihabisi ditempat.
Berita itu membuat
kalang kabut kami semua. Kami mulai melakukan berbagai usaha untuk mulai mencari,
menemukan, dan memiliki sebuah harapan. Tapi hal itu begitu sulit bagi kami, sebagian
besar dari kami masih belum memilki harapan itu. Hal itu seperti mustahil, tapi tak semustahil yang kami
bayangkan. Ada satu dua yang sudah menemukan harapan itu, kebutuhan yang mutlak
itu.
Setiap dari kami
mengumpulkan semua harta yang kami miliki, dan mencoba untuk membeli secuil
harapan yang dimiliki oleh orang sudah menemukan sebuah harapan. Apalah arti
dari semua harta yang kami miliki dan meskipun itu takkan pernah habis hingga
tujuh turunan, jika kami masih belum memiliki harapan. Atau dengan kata lain;
cepat atau lambat kami akan mati, dan itu pasti.
Beruntung, orang yang
sudah menemukan dan memiliki harapan itu mau membagi harapannya dengan kami,
meski kami harus rela menukar secuil harapan itu dengan semua harta kami. Tak
apa, yang terpenting sekarang kami sudah memiilki harapan. Itu sudah berarti
kami masih bisa mencari harta-harta kami lagi. Dan kami pun tak pernah iri pada
si penemu dan pemilik harapan karena hanya dengan sebuah harapan yang sudah ia
temukan dan miliki, ia punya harta yang mungkin tidak ada tandinganya di negeri
kami.
Tapi disini sebuah
harapan tidak seperti harta kami yang takkan pernah habis, karena setiap dari
kami memiliki hartanya sendirisendiri. Dari harapan yang hanya ditemukan oleh
segelintir orang tersebut, harapan itu kian lama kian menipis dan akan habis karena
harus dibagikan keseluruh penduduk negeri. Maka si pemilik harapan pun tak mau
lagi membagi harapan yang mereka miliki kepada kami. Dan kami tetap seperti
semula, tak bisa menemukan harapan-harapan itu lagi. Tetap, sebagian besar dari
kami tidak memilki harapan, dan itu berarti mereka akan mati.
Pemeriksaan untuk
pemilikan harapan sudah dimulai, dan suara jerit perih pun mulai digelar.
Suarasuara peluru yang menembus jantung, hati, dan kepala menjadi nyanyian
harian yang harus didengarkan, dan dengan pemandangan mayatmayat yang
tergeletak bersimbah darah; sebuah jawaban karena masih belum menemukan dan
memilki sebuah harapan.
Semua tanah lapang
yang ada digali. Mayatmayat dimasukanya disana, tanpa doa dan bunga. Penduduk
mulai habis, dan sebentar lagi yang tinggal hanyalah orangorang yang memilki
harapan walaupun hanya secuil.
Sebelum penduduk
benarbenar akan habis, ada pengumumam terbaru dari pemilik negeri kami: ada
sedikit waktu tambahan lagi bagi kami yang masih belum menemukan harapan dan
ada toleransi bagi sebuah keluarga untuk tetap hidup asalkan salah satu dari
anggota keluarga itu memiliki harapan.
Begitulah, kami mulai
lebih keras mencari harapanharapan itu. Amat keras. Dan berhasil, sekarang
lebih banyak dari kami yang menemukan harapanharapan. Mereka yang sudah
menemukan harapan itu kini rela membaginya dengan saudarasaudara yang masih
belum menemukan sebuah harapan, kali ini tanpa perlu menukarnya dengan semua
harta yang kami miliki. Kami sadar, harta itu tak begitu berarti kini. Sekarang
yang terpenting dan lebih berarti adalah keberadaan kami dan saudarasaudara
kami. Kami tak ingin melihat lagi bagian dari kami terkoyak kematian karena tak
memilki harapan.
Tapi tetap saja,
harapan yang kami temukan tidak cukup jika harus dibagikan keseluruh negeri,
meski sudah sebagian besar dari mereka sudah mati. Dan lagi, hari itu pun
datang, mayatmayat kembali bergeletak dan nyanyian perih itu kembali terlantun.
by: sujito kuncoro
email: sujitokuncoro@yahoo.com
fb : http://facebook.com/sujitokuncoro
0 komentar:
Posting Komentar